Kisah Sahabat - Sedekah di saat kondisi sendiri krisis / kekurangan.
Alkisah Ahmad bin Fulan hidup dengan istri dan anaknya yang
masih kecil. Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang
dilakukannya. Suatu malam, setelah seharian tak secuil makanan masuk kedalam
perutnya, hatinya gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti perutnya
yang keroncongan
Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai,
dan tak ada harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari
istrinya yang lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul
pemikiran darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya
Esok harinya, usai shalat shubuh berjamaah dan berdoa, ia
menemui sahabatnya Abdullah as-Sayyad. “Wahai Abdullah! Bisakah kau pinjamkan
aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini. Aku bermaskud menjual rumahku.
Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad
“Wahai Ahmad. . . ambillah bungkusan ini untuk keluargamu
dan pulanglah! Nanti aku akan menyusul kerumahmu membawakan semua kebutuhanmu
itu,” jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang kerumah sambil terus merenung
untuk menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya,
sekadar untuk makan. “Setelah itu, saya akan tinggal dimana,” renung Ahmad.
Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa
bungkusan makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya
akan tertawa lucu setelah memperoleh air susu. “ Terasa nikmat roti yang
dibungkus ini tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat
sejatiku,” desah Ahmad.
Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita
dengan bayi dalam gendongan menatap iba. “Tuan, berilah kami makanan. Sudah
beberapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan,
tolonglah. Semoga Allah swt. Merahmati tuan,” ratap ibu itu.
Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita
itu. Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas
kasihan. Sungguh melas, tak sanggup Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan
keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. “Biarlah aku akan
mencari makanan lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. “Ini ambillah bu. . .
aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya
yang lain mungkin aku akan membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil
menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya
Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, “Terima kasih.
. .terima kasih tuan. Sungguh tuan telah menolong kami dan semoga Allah
membalas budi baik tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan
menunduk hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.
Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi
nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan
datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun.
Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia
berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.
“Wahai Ahmad kemana saja engkau,” tegur Abdullah
tersengal-sengal. “Aku mencarimu kesan-kemari. Aku datang kerumahmu membawakan
keperluanmu yang aku janjikan. Namun, ditengah perjalanan aku bertemu dengan
saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia
bilang ayahmu pernah memberi pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun
berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia akan
mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas
Abdullah. “Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak
perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.
Kaget
bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya Abdullah. Sungguh ia tak
percaya dengan perkataannya itu.
“Benarkah Abdulah, benarkah?” tanya Ahmad ragu-ragu. Maka,
ia berlari seperti terbang, pulang kerumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang
kaya raya di kotanya…
Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya
Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab
oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang.
Wajahnya pucat. Berapa berat dosa yang dimilikinya. “Apakah amal kebaikan yang
dilakukan dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.
Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma
dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat, karena harus
dipotong dengan riya’ dan kesombongan yang menyertainya.. Demikian seterusnya.
Ternyata seluruh amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia
lakukan. Ahmad menangis…
Para
malaikat bertanya, “Masih adakah amal yang belum ditimbang?” “Masih ada,” kata
malaikat yang lain. “Masih ada, yakni dua amalan baik lagi.”
Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada
anak yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. “Mana mungkin amalan itu
dapat menyeimbangkan dosa-dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk
menimbang roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung
terangkat. Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan ahmad tetap
seimbang. Wajahnya sedikti tenang. Ia gembira, sungguh diluar dugaannya. Namun
amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang,” katanya dalam hati.
Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan
terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau
tetesan air mata ibu anak yatim dinilai dengan pahala untuknya. Ia bersyukur.
Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata
itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari
dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu
yang disetarakan dengan amalan baik Ahmad.
Ketika ikan menyentuh timbangan, maka seperti bobot yang
sangat berat, timbangan pun segera condong kearah kebaikan. “Dia selamat, dia
selamat,” terdengar teriakan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.
“Sekiranya
aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak adalah berat roti dan ikan
itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya itu yang telah
menyelamatkan dirinya. Pada saat itu Ahmad terbangun dari mimpi…
semoga bermanfaat sebagai motivasi kita untuk bersedekah.
http://www.sedekah.net/artikel/186-kesaksian-dua-tetes-air-mata.html